institusi itu bernama dekapan ukhuwah
“Tahukah kamu kawan? Aku pun menangis saat merindukan dekapan ukhuwah”
Suatu kali selepas tarawih di Ramadhan tahun lalu, saat kaki ini melintasi sebuah rumah yang berada di depan mesjid yang biasa aku sholat. Dari luar, dari sebuah jendela kaca yang tembus pandang, dapat kulihat beberapa orang sedang melingkar di sebuah meja, masing-masingnya menghadap laptop. Ya, aku tahu, mereka sedang berjuang bersama mengerjakan sesuatu.
Dan kau tahu apa yang terjadi denganku? Melihat itu semua, aku bergegas pulang, lalu di kamar, di atas kasurku yang tak begitu empuk, kukumpulkan air mata ini, air mata yang mengalir karena kesedihan. Sedih karena ternyata aku benar-benar sendiri saat itu, dan mungkin hingga hari ini.
Pikiranku melayang ke lima tahun ku di dalam dekapan ukhuwah. Malam-malam Ramadhan tak pernah kulalui dengan bersendirian, ada kalian. Yang acap kali berseliweran di depan mata, saling menyapa dan mengucap salam, bersenda gurau dan saling mengingatkan.
Yang mendekapku kala ku sedih.
Yang merawatku kala ku sakit.
Yang menyemangatiku kala ku lelah.
Yang memarahiku kala ku salah.
Dan kembali ku ingat beberapa orang di depan laptop-laptop itu. Mereka yang saling mendukung, tertawa bersama saat bahagia, saling menguatkan saat terjatuh.
Ada rasa iri yang tiba-tiba hadir. Kontras sekali dengan diriku yang benar-benar sendiri. Kuingat gelak tawa kita saat merasa geli karena suatu hal. Dalam tangis aku tersenyum, lalu kembali menangis saat sadar bahwa aku masih sendiri.
Siapa aku yang berharap kalian ada di sini malam itu?
Aku tinggal tak jauh dari rumah dimana ku melihat beberapa orang di depan laptop-laptopnya itu. Dan tentu saja setiap melangkahkan kaki ke mesjid, tak bisa kuhindarkan mata ini dari rumah itu. Mereka sekelompok sahabat yang terbalut dalam ukhuwah, dan aku iri melihat itu semua. Karena ku tak terbalut dalam dekapan ukhuwah itu kini.
Lantas aku terpuruk malam itu. Kujatuhkan kening pada selembar sajadah usang pemberian mama. Lama ku berdiam tanpa mengucapkan doa atau sepatah kata pun, hanya menikmati desahan nafas dan tetesan air mata, lama.... yang akhirnya membawaku pada sebuah kesadaran.
Well, it’s enough for me. Lima tahun aku hidup dalam dekapan ukhuwah yang nyata, belajar menjadi kuat bersama. Lima tahun adalah masa pembelajaran, dan kini saatnya pembuktian. Pembuktian bahwa diri ini juga akan tetap kuat walau bersendirian. Karena aku adalah alumni dari dekapan ukhuwah itu. Jika aku menyerah, pembelajaranku selama lima tahun ini sia-sia, dan institusi bernama Dekapan Ukhuwah itulah yang akan merasa paling bersedih. Karena ia ternyata tak mampu menghasilkan alumni berkualitas yang bermental baja.
Ini saatnya bagiku untuk selftest, membuktikan pada dunia. Ah... jangan bicara tentang dunia, setidaknya membuktikan pada diri sendiri bahwa aku bisa bertahan, bisa melewati semua dengan indah, dan bertekad tidak akan mengecewakan institusi bernama Dekapan Ukhuwah yang telah melahirkan generasi seperti ku dan kau.
Dalam sujud di malam-malam berikutnya, tak kutangisi lagi kesendririanku. Karena ku tahu, Dia mendaratkanku di sini bukan tanpa maksud, aku percaya itu. Dia tahu yang terbaik buatku dan kau.
”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS: Al-Baqarah 216)
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang alumninya ia tebarkan ke seluruh bumi agar menjadi rahmat bagi bumi yang dipijaknya dan yang ditinggalkannya.
Seperti ku dan kau, yang kini berpijak di bumi yang berbeda, menghirup aroma tanah yang baru, meminum air dari mata air yang baru, tersentuh sinar matahari dari celah-celah pohon yang berbeda, agar menjadi rahmat baginya.
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang telah memisahkan alumni-alumninya ke seluruh alam, untuk kembali berkumpul suatu saat nanti, jika tidak di sini – di bumi, di sana – di syurga.
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang telah melahirkan generasi sepertiku dan kau.
Untukmu kawan, sang alumni Dekapan Ukhuwah.
--Payakumbuh, 10 Januari 2010, 17:30 --
jan 18, '10 8:59 pm
Suatu kali selepas tarawih di Ramadhan tahun lalu, saat kaki ini melintasi sebuah rumah yang berada di depan mesjid yang biasa aku sholat. Dari luar, dari sebuah jendela kaca yang tembus pandang, dapat kulihat beberapa orang sedang melingkar di sebuah meja, masing-masingnya menghadap laptop. Ya, aku tahu, mereka sedang berjuang bersama mengerjakan sesuatu.
Dan kau tahu apa yang terjadi denganku? Melihat itu semua, aku bergegas pulang, lalu di kamar, di atas kasurku yang tak begitu empuk, kukumpulkan air mata ini, air mata yang mengalir karena kesedihan. Sedih karena ternyata aku benar-benar sendiri saat itu, dan mungkin hingga hari ini.
Pikiranku melayang ke lima tahun ku di dalam dekapan ukhuwah. Malam-malam Ramadhan tak pernah kulalui dengan bersendirian, ada kalian. Yang acap kali berseliweran di depan mata, saling menyapa dan mengucap salam, bersenda gurau dan saling mengingatkan.
Yang mendekapku kala ku sedih.
Yang merawatku kala ku sakit.
Yang menyemangatiku kala ku lelah.
Yang memarahiku kala ku salah.
Dan kembali ku ingat beberapa orang di depan laptop-laptop itu. Mereka yang saling mendukung, tertawa bersama saat bahagia, saling menguatkan saat terjatuh.
Ada rasa iri yang tiba-tiba hadir. Kontras sekali dengan diriku yang benar-benar sendiri. Kuingat gelak tawa kita saat merasa geli karena suatu hal. Dalam tangis aku tersenyum, lalu kembali menangis saat sadar bahwa aku masih sendiri.
Siapa aku yang berharap kalian ada di sini malam itu?
Aku tinggal tak jauh dari rumah dimana ku melihat beberapa orang di depan laptop-laptopnya itu. Dan tentu saja setiap melangkahkan kaki ke mesjid, tak bisa kuhindarkan mata ini dari rumah itu. Mereka sekelompok sahabat yang terbalut dalam ukhuwah, dan aku iri melihat itu semua. Karena ku tak terbalut dalam dekapan ukhuwah itu kini.
Lantas aku terpuruk malam itu. Kujatuhkan kening pada selembar sajadah usang pemberian mama. Lama ku berdiam tanpa mengucapkan doa atau sepatah kata pun, hanya menikmati desahan nafas dan tetesan air mata, lama.... yang akhirnya membawaku pada sebuah kesadaran.
Well, it’s enough for me. Lima tahun aku hidup dalam dekapan ukhuwah yang nyata, belajar menjadi kuat bersama. Lima tahun adalah masa pembelajaran, dan kini saatnya pembuktian. Pembuktian bahwa diri ini juga akan tetap kuat walau bersendirian. Karena aku adalah alumni dari dekapan ukhuwah itu. Jika aku menyerah, pembelajaranku selama lima tahun ini sia-sia, dan institusi bernama Dekapan Ukhuwah itulah yang akan merasa paling bersedih. Karena ia ternyata tak mampu menghasilkan alumni berkualitas yang bermental baja.
Ini saatnya bagiku untuk selftest, membuktikan pada dunia. Ah... jangan bicara tentang dunia, setidaknya membuktikan pada diri sendiri bahwa aku bisa bertahan, bisa melewati semua dengan indah, dan bertekad tidak akan mengecewakan institusi bernama Dekapan Ukhuwah yang telah melahirkan generasi seperti ku dan kau.
Dalam sujud di malam-malam berikutnya, tak kutangisi lagi kesendririanku. Karena ku tahu, Dia mendaratkanku di sini bukan tanpa maksud, aku percaya itu. Dia tahu yang terbaik buatku dan kau.
”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS: Al-Baqarah 216)
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang alumninya ia tebarkan ke seluruh bumi agar menjadi rahmat bagi bumi yang dipijaknya dan yang ditinggalkannya.
Seperti ku dan kau, yang kini berpijak di bumi yang berbeda, menghirup aroma tanah yang baru, meminum air dari mata air yang baru, tersentuh sinar matahari dari celah-celah pohon yang berbeda, agar menjadi rahmat baginya.
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang telah memisahkan alumni-alumninya ke seluruh alam, untuk kembali berkumpul suatu saat nanti, jika tidak di sini – di bumi, di sana – di syurga.
Institusi itu bernama Dekapan Ukhuwah, yang telah melahirkan generasi sepertiku dan kau.
Untukmu kawan, sang alumni Dekapan Ukhuwah.
--Payakumbuh, 10 Januari 2010, 17:30 --
jan 18, '10 8:59 pm
Comments