tabek patah,tanah datar, sumatera barat


Berkumpul di markas LBC (Labuah Basilang Community), sore itu anggota telah lengkap. Mas Sony, Mas Radi, Agus, Mba’ Nurul, Uni Wanti dan aku tentunya.










Ada satu hal yang ingin kami kejar, air kawah (dibaca: aiyya kawa; mode minang On) . Minuman hangat dari daun kopi yang direbus dalam tungku-tungku besar menggunakan kayu bakar, disajikan bukan di dalam gelas, melainkan tempurung kelapa, batok istilah kerennya. Seorang bapak yang bekerja di PT. BA (Bukit Asam) yang kami temui di warung kopi bercerita, sebenarnya ini pembodohan, kita hanya menikmati daunnya saja, sedang bijinya yang harganya lebih mahal diekspor. Tapi walau begitu, dia juga menikmati hidangan daun kopi tesebut. Haha!
Ditemani beberapa piring gorengan, seakan membalas perjuangan panjang kami untuk menemukan tempat ini.
Berbekal bukan pengalaman, hanya segelintir cerita dari orang-orang asli ranah minang ini, kami nekad menelusuri jalanan panjang menuju Tabek Patah. Dengan 3 motor, salah satunya hasil pinjaman. Saat itu hanya mba’ Nurul dan Agus yang memiliki motor. Uhm.. mungkin hingga hari ini. Oh tidak, mba’ Enno, anggota yang saat itu sudah terpisah jauh ke Padang, ia membawa serta motornya. Saat misi ini dijalankan, ia tidak turut bersama kami, dan ternyata… setelah kami menceritakan pengalaman kami, mba’ Enno telah lebih dulu menikmati kopi daun kopi ini. Ah… curang.


Sore itu, saat memulai perjalanan dari Payakumbuh, hari sudah menunjukkan pukul setengah limasore. Padahal kami sudah sepakat untuk berangkat ba’da ashar. Namun seperti biasa, ada saja kendala teknis: ada yang masih nungguin jemuran kering (setiap sabtu biasanya ada program cuci gratis di sebuah desa terbaik tahun 1975, bernama desa Limbukan. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh kami, hehe…), helm belum cukup sehingga harus minjem sana sini, de el el.. Hingga akhirnya iring-ringan motor ini mulai bergerak meninggalkan Payakumbuh pada pukul setengah lima sore. Mengikuti instruksi uni Wanti, yang ngakunya orang Payakumbuh (tapi sayang… mengikuti petunjuk jalannya adalah malapetaka besar, tidak akurat sama sekali  ) 

Jalan menuju tabek patah ini sangat unik, berbelok-belok, naik turun, namun pemandangan yang tersaji, Subhanallah… impas dengan susahnya jalan yang dilalui, apalagi bagi kami yang masih meraba jalan. Di separuh perjalanan… saat sudah mulai lelah dan hampir menyerah, hujan pun turut menghiasi saat-saat penyerahan ini. Terpaksa berhenti, tak ada yang membawa jas hujan. Seperti biasa. Hanya modal nekad, tanpa persiapan. Alhamdulillah, di seberang jalan dimana kami memarkirkan motor, ada seorang penjual gorengan. Sembari menunggu hujan sedikit reda, sekaligus menangkis rasa lapar yang mulai menggerayangi perut kami pun mulai menggilas gorengan panas. 

Setelah hujan reda, kami kembali melanjutkan perjalanan. Ah… akhirnya sampai juga di tempat yang dituju. Nama kedainya: Kawa Daun, terletak di tepi jalan, mudah menemukannya. Tapi, coffe shop itu ramai sekali… sepertinya tak ada tempat duduk bagi kami. Akhirnya kami memutuskan ke tempat lain dulu. Tak jauh dari TKP, ada sebuah temapt wisata, Panorama Tabek Patah namanya. Tanpa pikir panjang, kami kemali melanjutkan perjalanan. 
Dan Wow! Subhanallah! Dari dataran tinggi Panorama Tabek Patah ini, panorama alam nan indah benar-benar bisa kita nikmati. Perjalanan jauh nan melelahkan hilang begitu saja setelah menatap tenangnya bukit-bukit yang terbentang di sepanjang mata memandang, kabut-kabut lembut mengelilingi bukit menambah kesan eksotis. Hah! Tanpa menunggu instruksi, semua orang ,mengeluarkan senjata narsisnya masing2. HP! Dengan kualitas kamera yang pas-pasan, tak menjadi masalah bagi kami, yang penting bisa mengabadikan diri di tempat yang jarang sekali kita temukan di kota. Saat itu, tak banyak orang yang mengunjungi tempat ini, jadi seoalah-olah gunung-gunung dan bukit-bukit itu hanyalah milik kami. Menenangkan.
Setelah puas, kami kembali menyatukan frekuensi untuk menuntasakan misi yang sebenarnya: Kopi!
Kembalilah kami ke “coffe shop”, dan Alhamdulillah… walau masih ramai, ada tempt untuk kami. Di sanalah kami menghabisakn waktu sore di hari sabtu menjelang magrib. Warungnya sangat sederhana sekali, tak ada material beton ataupun batu bata, hanya sebuah warung kecil terbuat dari kayu dan sedikti bambu. Tungkunya pun masih tradisional, menggunakan kayu bakar. Meja dan bangkunya apalagi. Satu meja panjang diapit dua buah bangku panjang. Satu meja bukan hanya untuk satu kelompok pengunjung, inilah yang menjadi ajang saling tukar menukar cerita, saling kenal antara satu pengunjung dengan pengunjung lainnya. Seperti saat itu, kami satu meja dengan dua kelompok pengunjung yang berbeda. Yang pertama sepasang suami istri paruh baya, umurnya kira-kira 50an..sepertinya ppenduduk setempat. Dengan dua orang ini kami tak banyak bercerita, selain sepertinya mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, kami juga tak ingin mengganggu keasyikan keduanya yang mungkin sedang mengenang masa-masa mudanya berdua. Pengunjung lain adalah seorang pegawai PT BA yang jauh-jauh datang dari Sawahlunto beserta keluarganya, seorang istri dan dua putri. Dengan beliau kami banyak bercerita, sang bapak juga bukan penduduk asli ranah minang.
 Ah… nikmatnya sore itu.
Misi selesai!
Setelah puas, perjalanan kami lanjutkan. Pulang tujuan utama.
 -------------------------------------- 
*mengenang kembali masa-masa indah di Payakumbuh bersama saudara-saudari terbaikku. Maafkanlah bila si ‘sombong’ ini jarang bertegur sapa meski hanya melalui YM atau sms. Tak ada sama sekali niat melupakan, malah setiap melihat foto2 kita, ingin rasanya terbang kembali ke tanah dimana pujangga-pujangga besar bangsa ini dilahirkan, Buya Hamka salah satunya, atau Taufik Ismail yang rumahnya telah juga kita kunjungi dalam misi menaklukkan ranah minang sebelum kita kembali ke Tanah kelahiran masing2 (ngarep.com ^^v).
Apa kabar UPB-Cabang Payakumbuh?
Apa kabar Rosella di sebelah ruangan APP? Masihkan ada yang memanfaatkan buahnya?
Apa kabar mbok Nah?
Pohon alpukat, pisang dan pepaya… masihkan berbuah?
Bagaimana dengan rambutan dan durian tetangga?
Pasar Payakumbuh… masihkah kalian sering mengunjunginya di malam hari? Bergerilya mencari makanan?
Atau ke Kobeng?
Ah… miss those things so much.

Salam hangat dan salam rindu, sangat berharap Desember nanti kalian benar-benar hadir di Medan, dan kita bisa melanjutkan perjalanan cerita kita di sini, di kota kami, meski hanya beberapa hari. Aku menunggumu. Menunggu kalian.
Dan merindukan bunyi sms ini:
“Wiel, ntar ke kosan ya.. kami masak ni.. ”

oct 4, '10 10:13 pm

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Sahabat Anak-anak

Traveling sejak dalam kandungan

map of my colony