behind the scene a success single parent

It's a real story.
It's not another sad story about mother.

Kehidupan manusia syarat akan hikmah.Hikmah itu pula yang berseliweran mengiringi perjalanan saya 12-17 Mei 2008 lalu ke Jogja dan Magelang.
Dalam sebuah perjalanan pulang, ketika hendak kembali ke Bandung, saya bertemu dengan seorang ibu, usianya kira-kira 60an tahun. Kebetulan, kami satu travel, dan beliau duduk di sebelah kanan saya.
Di awal perjalanan dari Magelang, hanya saya sendiri yang berperan sebagai penumpang. Sedangkan ibu tersebut baru naik di dareah Temanggung. Perkenalan pun dimulai oleh sang ibu yang menanyakan tujuan saya. Kalau saya pikir, itu pertanyaan yang sangat basa-basi sekali, sudah jelas toh, mobil travel yang kami tumpangi tujuannya pasti ke Bandung. Yah, itulah, dalam komunikasi, basa-basi masih sangat diperlukan.
Singkat cerita, sang ibu kemudian dengan tanpa diminta menceritakan kisah hidpunya. Ibu tersebut kini seorang janda yang telah ditinggal pergi suaminya pada tahun 1983 dengan 5 orang anak yang keseluruhannya adalah laki-laki. Beliau bekerja di Departemen Kehakiman. Beliau memutuskan untuk membiayai anak-anaknya seorang diri, Single Parent istilah kerennya.
Kini, kelima anaknya tergolong orang-orang yang telah sukses.
Putra pertama, seorang dokter bedah di Solo.
Putra kedua, bekerja di Pemda Salatiga, PNS.
Putra ketiga, bekerja di sebuah perusahaan asing di Depok, sedang istrinya merupakan karyawan bagian keuangan ITB.
Putra keempat menjadi seorang hakim di Bontang.
Putra kelima, berprofesi sebagai dosen di Solo.
Dan sudah menikah semua.
Sebelum beliau bercerita lebih jauh, terbesit rasa kagum saya pada beliau.

Beliau kemudian mengenangkan masa-masa sulit ketika beliau harus kerja lembur, tapi tidak ingin anak-anaknya mengetahuinya, ketika ia sudah ingin berputus asa, tapi tidak ingin keputus-asaannya terlihat oleh anak-anaknyaa. Wah, Subhanallah. Dengan segala cara beliau menyembunyikan itu semua dari anak-anaknya. Jam sembilan malam beliau sudah menyuruh anak-anaknya tidur, sedang beliau akan bergadang sampai jam 2 malam untuk menyelesaikan pekerjaanya. Beliau hanya ingin kelima anaknya tetap bersemangat dalam menuntut ilmu. 

Setiap bulan, gaji yang diterimanya saat itu hanya sekitar dua ratus ribu rupiah. Sang bungsu-lah yang bertugas membagi-bagi uang tersebut untuk segala keperluan. Yang diprioritaskan adalah biaya kuliah empat orang kakaknya yang kuliah di luar kota, Undip dan  ITB, mereka berdomisili di Temanggung saat itu.Setiap orang mendapat jatah lima puluh ribu rupiah. Ketika uang itu habis, si bungsu bertanya kepada ibunya, dengan bahasa Jawa tentunya, tapi di sini saya translate saja, "Bu, uangnya kok habis, trus untuk kita yang di rumah mana?"  
Dengan bijak sang ibu menjawab,"Kita kan punya jatah beras dari pemerintah satu orang 10kg, jadi untuk keluarga kita ada 60 kg. Nah, yang kita butuhkan hanya setengah saja, setengahnya lagi kan bisa kita jual, dan itu uang yang akan jadi bekal hidup kita".
Tapi, Alhamdulillah keempat anaknya berinisiatif untuk menambah uang saku mereka sendiri. Ada yang menjadi asisten dosen, ada yang menjadi tukang ketik, de es be. Yah, mungkin samalah seperti kita sekarang ini, untuk menambah penghasilan, ada yang mencoba berbisnis, ada pula yang mengambil jalur akademik dengan menjadi asisten laboratorium ataupun asisten dosen.

Sering saya jumpai, seorang ibu yang menjadi single parent, teman-teman sekolah saya sendiri juga banyak yang hanya mempunyai ibu. But why, para bapak jarang sekali yang bisa bertahan menjadi single parent? It's mean wanita lebih kuat. Begitukah? Wallahua'lam bishowab.


may 17, '08 2:38 am

Comments

Popular posts from this blog

map of my colony

a simple thing that makes me fall in love with you again.

Nabung ASIP selama Umroh?? Emang bisa?