suatu sore selepas ashar

Sore ini, slepas Ashar berjamaah dengan temen2 sekos,seperti biasanya, kita masih duduk berlama2 di ruang shalat yang juga ruang makan, dan kadang dijadikan ruang olahraga. Beberapa orang memanfaatkannya untuk bermain basket, skipping dan senam, termasuk saya. Gak besar, tapi cukup bagi kami. Ada hal yang menahan kami untuk tetap di sana. Pertama, mungkin karena makanan yang dibawa oleh Eka, sehabis mengikuti seminar. Kebetulan, Yani, Wiwin dan saya yang sejak pagi stay tune di kos, lagi lapar (padahal sebelum shalat masak mie). Satu kotak nasi dan satu kotak kue dikeroyok ber-empat. Uun dan Rita yang baru pulang juga akhirnya duduk bareng bersama kami. 
    Selesai makan, ada satu hal yang gak lazim kami lakukan. Rita membawa majalah Tarbawi yang udah beberapa hari ini saya cari, tapi gak ada. Karena ada sebuah artikel yang kata seorang teman, menangis saat membacanya. Akhirnya saya bisa baca juga. Awalnya, saya ingin membacanya sendiri di kamar, tapi melihat antusias saya, temen2 lain meminta saya membacakan juga untuk mereka.Akhirnya, lingkaran dibentuk, dan saya mulai membaca.
    Kisah ini tentang seorang aktivis dakwah kampus (bisa dibilang seusia kita, walau lebih muda satu tahun) yang meninggal beberapa waktu yang lalu, 14 Mei 2008. Rofiqa Meila Sari nama lengkapnya. Subhanallah, teman yang memberitahu saya informasi ini benar, menangis saat membacanya. Agak malu sebenarnya mengeluarkan bulir-bulir air mata di hadapan Wiwin, Eka, Yani, Uun dan Rita, tapi, gak lagi setelah melihat mereka juga menangis mendengar saya.. Tapi, di tengah-tengah ada yang nyeletuk, "aku nangis bukan karena ceritanya, tapi karena denger suara Wielda". Hmm... :( Merusak suasana aja. Tapi tetep berlanjut.
    Saat membacanya, kita membayangkan jika yang terjadi pada diri Meila adalah kita. Mungkin statusnya sama, ADK (Aktivis Dakwah Kampus), tapi apa yang sudah kami lakukan belum seberapa bila dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Meila. Di detik-detik terakhir kehidupannya, bahkan ia sedang berjuang atas nama Dakwah. Malu... malu banget rasanya. Perjuangan kami ternyata belum seberapa selama ini. Ia, Meila, berdakwah bukan hanya untuk keluarganya, tapi di kampus dan masyarakat. 
    Mungkin sedikit berbeda, karena ia tinggal di tengah-tengah keluargannya, sehingga dakwah ke keluarganya lebih mudah, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya teramati oleh keluarga, khususnya sang ibu. Sedangkan sebagian dari kita dipisahkan oleh pulau yang berbeda dengan keluarga. Tapi, itu gak menjadi alasan untuk menyurutkan dakwah kita ke keluarga.
    Setelah selesai, kami termenung sejenak. Kemudian Rita bilang, "Orang baik cepat dipanggil Allah ya....".
Meila cepat dipanggil oleh Allah untuk memberi hikmah dan contoh kepada kita-kita yang masih berpijak di bumi ini. Untuk mengingatkan kita bahwa perjuangan kita belum usai, bahwa jalan dakwah ini masih sangat panjang, bahwa masih banyak amanah yang belum kita selesaikan. Jika Meila tidak cepat dipanggil Allah, mungkin kita gak akan pernah tahu kisah perjuangannya, gak akan pernah tahu...kisah ini gak akan sampai ke telinga kita dan kita gak akan pernah belajar darinya.

Semoga kisahnya bisa menjadi pelajaran bagi kami, tidak, bukan hanya bagi kami, tapi bagi kita semua yang suka mengambil hikmah dari perjalanan hidup orang lain.

Untuk kisah lengkapnya, silahkan baca Majalah Tarbawi edisi Juni 2008.
Sebuah pelajaran berharga bagi yang ingin terus berdakwah.


jun 13, '08 9:08 pm

Comments

Popular posts from this blog

map of my colony

a simple thing that makes me fall in love with you again.

Nabung ASIP selama Umroh?? Emang bisa?