sebuah perjalanan sederhana dengan berjuta makna
Pagi ini, seperti yang telah direncanakan beberapa hari sebelumnya, sekosan akan berkunjung ke sebuah panti asuhan.
Tapi, rencana ini hampir saja tidak jadi. Pasalnya, beberpa member, termasuk saya, sejak jam 6 pagi sudah keluar dari rumah.
Hm... awalnya saya pikir, ya sudahlah jika emang pada gak bisa, saya sendiri saja.
Tapi, ketika pulang, sekitar jam 9 terjadilah dialog ini:
Yani: "Wiel, kita jadi pergi gak? Tapi koq aku pengen banget".
Mendengar beliau mengucapkan 'pengen banget', tanpa pikir panjang...
Wielda:"Oke, jadi. Siapa aja yang mau pergi?"
Yani: "Aku, Rita, Eka sama kamu doang"
Wielda: "Yang lain?"
Yani:"Gak tau, pada belum pulang"
Wielda: "Ya udah, kita ber-empat aja. Eh, Hamzah dan Aisyah jadi ikut ga?"
Yani: "Ntar Yani telepon Dokter Eny dulu"
Beberapa menit kemudian..
Yani: "Wiel, kata umi, kalo cuma ber-empat, naik mobil aja, umi mau ikut juga, Ustad Tedi juga ikutan."
Wielda:"He? Gak salah? Serius? Ustad dan Umi mau ikutan? Bukannya kata umi cuma Hamzah dan Aisyah?"
Yani: "Iya, jadinya gitu"
Beberapa menit kemudian, saat kami sedang bersiap-siap
Teman-teman lain pulang, dan akhirnya mereka memutuskan untuk ikut. Tapi, karena mobil terbatas, mereka menggunakan dua motor.
Pertama kali saya ke panti asuhan ini, pelajaranyang paling melekat di otak saya adalah bahwa saya harus bersyukur saya memiliki orang tua, tidak seperti bayi-bayi di sana yang tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Tapi, kali kedua saya ke panti ini, ada banyak pelajaran yang melekat di otak saya. Bukan, bukan tentang anak-anak di panti, tapi kali ini saya banyak mengambil pelajaran dari sebuah keluarga ikhwah yang memiliki empat orang anak yang masih kecil-kecil. Dua orang sudah SD (Aisyah dan Hamzah), dua masih balita (Hasan dan Mu'iz).
Dari awal kami ke rumah ustad Tedi, umi sudah disibukkan dengan barang-barang keperluan baby yang harus dibawa. Disambut dengan Hamzah dan Hasan yang sedang merebut bola.
Satu pelajaran: Kalo mau punya anak, berarti harus mau repot.
Di perjalanan, sebelum ke panti kami singgah di Toserba Griya, untuk membeli susu. Nah, ustad salah parkir kayaknya... Ustad memarkirkan mobilnya tepat di depan Mc.D, yang ada counter Ice Cream-nya.
Hm.... namanya juga anak-anak... Dari yang Aisya hingga Hasan, kecuali Mu'iz yang masih minum ASI, ketiganya menginginkan ice cream yang menggoda selera tersebut.
Akhirnya.... dengan penuh keterpaksaan ustad membeli satu Ice Cream, hanya untuk Hasan, karena Aisyah dan Hamzah tidak terlalu memaksa, berbeda dengan Hasan.
Satu lagi pelajaran saya ambil di sini, bahwa demi anak, orang tua bisa melakukan apa saja, bahkan jika prinsip harus dikorbankan.
Masih dalam perjalanan dari Griya menuju panti asuhan. Di persimpangan jalan Sukarno Hatta saat lampu merah sedang menyala. Seorang pekerja pengelap kaca mobil menghampiri mobil ustad Tedi, mengelap kaca mobil sekenanya. Kemudian ustad memberinya beberapa koin. Tapi, ustad gak langsung mengacuhkannya. Ustad menanyai orang tersebut tentang calon walikota yang akan dipilihnya. Kemudian Ustad bilang, "Kalo saya Trendi". Trus sang abang pengelap kaca mobil berkata, "O.. Trendi pak? Okelah pak, sip! Trendi saya mah".
Pelajaran lain: bahwa meskipun sedang dalam perjalanan, DM tetep harus dijalankan, sambil menyelam minum madu, hehe...
Sesampainya di panti asuhan, setelah menyerahkan bingkisan ke pihak panti, kami langsung menuju asrama panti, ke lantai 3 dimana bayi-bayi mungil dan balita-balita yang sedang aktif-aktifnya akan kami temui. Pertama kali ke sini, saya menangis, tapi, kali ini saya melihat teman saya menangins, hehe.. ternyata bukan cuma saya aja.
Ada yang menarik. Hasan, yang masih 3 tahun, ternyata punya caranya sendiri untuk menunjukkan kasih sayang pada saudara-saudaranya. Dimulai dengan memegang tangan, kemudian menyentuh pipi, lalu berdialog dengan bahasanya sendiri. Demikian juga dengan Aisyah dan Hamzah. Hamzah lebih suka merelakan tangannya digenggam oleh bayi-bayi mungil tersebut. Aisyah yang sudah lebih muncul jiwa ke'kakak'an-nya, lebih sering mengajak ngobrol.
Kalo kita-kita.... ah, gak usah diceritainlah bagaimana cara kami memberikan kasih sayang pada bayi-bayi tersebut. Uhm... kalo diliat-liat dari mimik wajah saat berinteraksi dengan bayi-bayi... kayaknya udah cocok.. hehe...
Pelajaran berikutnya: bahwa seorang anak kecilpun, sudah bisa menunjukkan empatinya terhadap orang lain. Sedari kecil anak-anak dikenalkan dengan saudara-saudaranya yang tidak seberuntung dia, baik juga menurut saya, untuk melatih rasa bersyukurnya, dan melatih kepekaan sosialnya. (Duh, udah kayak pakar anak-anak gini).
Berhubung hari ini hari Jum'at, jadi ustad memutuskan untuk singgah saja ke rumah orang tua umi, yang nggak lain adalah mertua ustad (ya iyalah), shalat Jum'at di sana, coz kalo harus kembali ke rumah, gak keburu.
Di rumah.... uhm... apa nyebutnya ya? Nenek sajalah, kan uminya umi. Ya, di rumah nenek, kita (saya, Eka, Yani dan Rita) beruntung sekali dapat ,enyaksikan live action-nya ustad Tedi saat berinteraksi dengan mertuanya, dan live action-nya umi saat mengunjungi orang tuanya.Wah, di hadapan mertua dan orang tua, ustad dan umi bener-bener pandai memposisikan diri sebagai anak, gak canggung walaupun pada saat itu ada saya dan ketiga teman saya.
Pelajaran lagi nih, udah liat live actionnya, tinggal tunggu implementation-nya ajah, huahahahhaaahaha...
Habis.
Udah.
Ceritanya.
Sampe.
Sini.
Ajah.
Yang.
Lainnya.
Behind.
The.
Scene.
^_-
NB: Ustad Tedi adalah salah seorang ustad yang sering sekali mengisi kajian-kajian di kampus. Beliau juga pembimbing DPRa Lengkong, tempat dimana kami bernaung (saya dan teman sekosan), jadi emang sering berinteraksi dengan beliau. Umi, atau dokter Eny, istri beliau, adalah Dosen FK UNPAD yang sering kami mintai tolong untuk mengisi kajian ibu-ibu, atau untuk memeriksa jika salah satu anak kosan sedang sakit (konsultasi gratis gethu lho),
hehe..
jul 11, '08 11:32 pm
Tapi, rencana ini hampir saja tidak jadi. Pasalnya, beberpa member, termasuk saya, sejak jam 6 pagi sudah keluar dari rumah.
Hm... awalnya saya pikir, ya sudahlah jika emang pada gak bisa, saya sendiri saja.
Tapi, ketika pulang, sekitar jam 9 terjadilah dialog ini:
Yani: "Wiel, kita jadi pergi gak? Tapi koq aku pengen banget".
Mendengar beliau mengucapkan 'pengen banget', tanpa pikir panjang...
Wielda:"Oke, jadi. Siapa aja yang mau pergi?"
Yani: "Aku, Rita, Eka sama kamu doang"
Wielda: "Yang lain?"
Yani:"Gak tau, pada belum pulang"
Wielda: "Ya udah, kita ber-empat aja. Eh, Hamzah dan Aisyah jadi ikut ga?"
Yani: "Ntar Yani telepon Dokter Eny dulu"
Beberapa menit kemudian..
Yani: "Wiel, kata umi, kalo cuma ber-empat, naik mobil aja, umi mau ikut juga, Ustad Tedi juga ikutan."
Wielda:"He? Gak salah? Serius? Ustad dan Umi mau ikutan? Bukannya kata umi cuma Hamzah dan Aisyah?"
Yani: "Iya, jadinya gitu"
Beberapa menit kemudian, saat kami sedang bersiap-siap
Teman-teman lain pulang, dan akhirnya mereka memutuskan untuk ikut. Tapi, karena mobil terbatas, mereka menggunakan dua motor.
Pertama kali saya ke panti asuhan ini, pelajaranyang paling melekat di otak saya adalah bahwa saya harus bersyukur saya memiliki orang tua, tidak seperti bayi-bayi di sana yang tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Tapi, kali kedua saya ke panti ini, ada banyak pelajaran yang melekat di otak saya. Bukan, bukan tentang anak-anak di panti, tapi kali ini saya banyak mengambil pelajaran dari sebuah keluarga ikhwah yang memiliki empat orang anak yang masih kecil-kecil. Dua orang sudah SD (Aisyah dan Hamzah), dua masih balita (Hasan dan Mu'iz).
Dari awal kami ke rumah ustad Tedi, umi sudah disibukkan dengan barang-barang keperluan baby yang harus dibawa. Disambut dengan Hamzah dan Hasan yang sedang merebut bola.
Satu pelajaran: Kalo mau punya anak, berarti harus mau repot.
Di perjalanan, sebelum ke panti kami singgah di Toserba Griya, untuk membeli susu. Nah, ustad salah parkir kayaknya... Ustad memarkirkan mobilnya tepat di depan Mc.D, yang ada counter Ice Cream-nya.
Hm.... namanya juga anak-anak... Dari yang Aisya hingga Hasan, kecuali Mu'iz yang masih minum ASI, ketiganya menginginkan ice cream yang menggoda selera tersebut.
Akhirnya.... dengan penuh keterpaksaan ustad membeli satu Ice Cream, hanya untuk Hasan, karena Aisyah dan Hamzah tidak terlalu memaksa, berbeda dengan Hasan.
Satu lagi pelajaran saya ambil di sini, bahwa demi anak, orang tua bisa melakukan apa saja, bahkan jika prinsip harus dikorbankan.
Masih dalam perjalanan dari Griya menuju panti asuhan. Di persimpangan jalan Sukarno Hatta saat lampu merah sedang menyala. Seorang pekerja pengelap kaca mobil menghampiri mobil ustad Tedi, mengelap kaca mobil sekenanya. Kemudian ustad memberinya beberapa koin. Tapi, ustad gak langsung mengacuhkannya. Ustad menanyai orang tersebut tentang calon walikota yang akan dipilihnya. Kemudian Ustad bilang, "Kalo saya Trendi". Trus sang abang pengelap kaca mobil berkata, "O.. Trendi pak? Okelah pak, sip! Trendi saya mah".
Pelajaran lain: bahwa meskipun sedang dalam perjalanan, DM tetep harus dijalankan, sambil menyelam minum madu, hehe...
Sesampainya di panti asuhan, setelah menyerahkan bingkisan ke pihak panti, kami langsung menuju asrama panti, ke lantai 3 dimana bayi-bayi mungil dan balita-balita yang sedang aktif-aktifnya akan kami temui. Pertama kali ke sini, saya menangis, tapi, kali ini saya melihat teman saya menangins, hehe.. ternyata bukan cuma saya aja.
Ada yang menarik. Hasan, yang masih 3 tahun, ternyata punya caranya sendiri untuk menunjukkan kasih sayang pada saudara-saudaranya. Dimulai dengan memegang tangan, kemudian menyentuh pipi, lalu berdialog dengan bahasanya sendiri. Demikian juga dengan Aisyah dan Hamzah. Hamzah lebih suka merelakan tangannya digenggam oleh bayi-bayi mungil tersebut. Aisyah yang sudah lebih muncul jiwa ke'kakak'an-nya, lebih sering mengajak ngobrol.
Kalo kita-kita.... ah, gak usah diceritainlah bagaimana cara kami memberikan kasih sayang pada bayi-bayi tersebut. Uhm... kalo diliat-liat dari mimik wajah saat berinteraksi dengan bayi-bayi... kayaknya udah cocok.. hehe...
Pelajaran berikutnya: bahwa seorang anak kecilpun, sudah bisa menunjukkan empatinya terhadap orang lain. Sedari kecil anak-anak dikenalkan dengan saudara-saudaranya yang tidak seberuntung dia, baik juga menurut saya, untuk melatih rasa bersyukurnya, dan melatih kepekaan sosialnya. (Duh, udah kayak pakar anak-anak gini).
Berhubung hari ini hari Jum'at, jadi ustad memutuskan untuk singgah saja ke rumah orang tua umi, yang nggak lain adalah mertua ustad (ya iyalah), shalat Jum'at di sana, coz kalo harus kembali ke rumah, gak keburu.
Di rumah.... uhm... apa nyebutnya ya? Nenek sajalah, kan uminya umi. Ya, di rumah nenek, kita (saya, Eka, Yani dan Rita) beruntung sekali dapat ,enyaksikan live action-nya ustad Tedi saat berinteraksi dengan mertuanya, dan live action-nya umi saat mengunjungi orang tuanya.Wah, di hadapan mertua dan orang tua, ustad dan umi bener-bener pandai memposisikan diri sebagai anak, gak canggung walaupun pada saat itu ada saya dan ketiga teman saya.
Pelajaran lagi nih, udah liat live actionnya, tinggal tunggu implementation-nya ajah, huahahahhaaahaha...
Habis.
Udah.
Ceritanya.
Sampe.
Sini.
Ajah.
Yang.
Lainnya.
Behind.
The.
Scene.
^_-
NB: Ustad Tedi adalah salah seorang ustad yang sering sekali mengisi kajian-kajian di kampus. Beliau juga pembimbing DPRa Lengkong, tempat dimana kami bernaung (saya dan teman sekosan), jadi emang sering berinteraksi dengan beliau. Umi, atau dokter Eny, istri beliau, adalah Dosen FK UNPAD yang sering kami mintai tolong untuk mengisi kajian ibu-ibu, atau untuk memeriksa jika salah satu anak kosan sedang sakit (konsultasi gratis gethu lho),
hehe..
jul 11, '08 11:32 pm
Comments