tpa al-falah, dan fenomenna ajaib yang ada di sana
Sebelumnya, saya pernah bercerita suatu kisah 'menyedihkan' di tempat ini pada posting-an sebelumnya, dengan judul Just Because of 'Combro'. Tapi saya akhirnya ingin mengangkat kisah-kisah lain di balik TPA ini.
Nggak ada salahnya dibaca, siapa tahu, timbul inspirasi untuk turut bersama kami meng-handle TPA 'luar biasa' ini.
Berbeda dengan TPA Mentari Ilmu-MSU ataupun TPA Istiqomah di Sukabirus, dimana murid-muridnya mendapat dukungan dari orang tua untuk mengaji,nggak jarang mereka diantar oleh ibunya, di sini tidak demikian. Murid-murid tidak terikat apapun, hanya keinginan mereka yang mendorong mereka untuk tetap mengaji. Dan, latar belakang keluarga mereka juga jauh lebih tragis dibandingkan dengan anak-anak di TPA lain. Sebelumnya, saya juga pernah mengajar di Isitqomah, saat masih tinggal di asrama, tapi karena kos saya jauh, akhirnya saya pindah ke TPA AL-Falah yang lebih dekat dengan rumah.
Kesan pertama yang didapat bagi siapa saja yang baru pertama kali mengajar di TPA ini adalah: Brutal. Ya, anak-anak yang brutal. .Wajar saja, saya kira. Di sini mereka bebas berekspresi tanpa tekanan apapun dari orang tua mereka. Karena, jika ditilik lebih jauh, banyak sebagian dari mereka merupakan anak-anak korban broken home dan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Sebut saja Herlin, anak cewek usia 8 tahunan, menjadi anak yang agak nakal, pemberontak. Ternyata, usut punya usut, anak ini sering menjadi korban kemarahan ayahnya, intinya sering dipukuli, sedangkan ayah dan ibunya sering bertengkar.
Ada lagi, Depi, anak cewek sekitar 8 tahunan juga, segala yang diucapkannya bertentangan dengan yang dia lakukan. Misalnya, ketika saya mengajak untuk belajar tajwid, dia berkata, "nggak mau ah kak. males", dan efeknya adalah temen2-nya juga jadi nggak mau. Tapi, beberapa menit kemudian dia mengeluarkan buku, lalu berkata ,"ayo kak, buruan belajar tajwid-nya".Ugh! Saya selalu bingung menghadapi anak ini.
Kasus lain, Lisna, anak kelas 1 SMP yang sangat benci dengan ibunya karena telah ditinggal sejak ia masih kecil. Lisna pernah berkata, "Aku benci... sama mamah, aku aja nggak pernah disusui sama mamah. Aku nggak tau ah mamah dimana. Nggak peduli!"
Satu lagi, Indri, yang punya obsesi "ingin menjadi seperti kakak". Setiap kalai saya datang , dia selalu berlalri-lari menghampiri dan berkata, "kak, kalo udah besar aku mau jadi kayak kakak". Dalam hati, saya cuma bisa berdoa, "semoga kamu bisa menjadi sisi baik saya, tidak untuk sisi buruk saya".
Ada yang kadang tiba-tiba menangis tanpa sebab, ada yang kadang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak demi menyaksikan temannya yang tidak bisa menulis Bismillah dalam tulisan arab. Ada yang setiap kali mau mengaji harus rebutan Iqro'. Ada yang diem banget, nggak mau mengeluarkan suara, bahkan saat mengaji. Jadi, kalo mengajar ni anak, namanya Siska, telinga kita harus bener-bener dekat dengan bibirnya. Ada yang datang cuma mau minta izin pulang sebentar, tapi nggak pernah kembali sampai esok hari.
Itu sebagian kecil latar belakang keluarga di murid-murid cewek. Beda lagi dengan murid-murid cowok yang kebanyakan anak2-nya autis. Sebagi contoh, ada seorang anak, saya lupa namanya, kira-kira 7 tahun, setiap kali waktu sholat isya tiba, pengajar ikhwan-nya harus berlari-lari mengejar tu anak. Kalo lagi sholat, posisinya nggak ada yang bener, bergerak kesana-kemari.
Ada juga seorang anak usia 7 tahunan, ibunya menjadi TKW di Arab, dia hanya mendapat kiriman dari ibunya, padahal yang diinginkannya adalah keberadaan seorang ibu di sampingnya. Dan dia selalu bilang, "aku lagi nunggu mama pulang."
Kalo bisa dibilang, mengajar di Al-Falah merupakan suatu cobaan. Tapi, banyak sekali miniatur kehidupan yang bisa diambil hikmahnya dari mengajar di tempat seperti ini. Nggak jarang, kadang kalo saya lagi bad mood, dengan mengajar mereka, hati ini sumringah, kepala ini menjadi dingin kembali, melihat tawa mereka, candaan mereka, dan semangat mereka.
Saya dan teman serumah bergantian mengajar di TPA ini, jika yang satu berhalangan, yang lain harus menggantikan.Tak jarang, sebelum berangkat kami rebutan dulu, siapa mengajar yang mana. Tapi, murid yang paling dihindari adalah murid2 cewek kelas 1 SMP. Paling enak tu ngajar anak SD kelas 1-3 dan anak yang belum sekolah. Tapi, resikonya, ya yang saya sebutkan di atas, tiba-tiba mereka bisa saja menangis atau tertawa.
Kalo ada kesempatan, coba deh sesekali berkunjung ke TPA ini, maka lihatlah fenomena-fenomena ajaib yang terjadi di antara anak-anak polos ini.
jan 31, '08 10:48 pm
Nggak ada salahnya dibaca, siapa tahu, timbul inspirasi untuk turut bersama kami meng-handle TPA 'luar biasa' ini.
Berbeda dengan TPA Mentari Ilmu-MSU ataupun TPA Istiqomah di Sukabirus, dimana murid-muridnya mendapat dukungan dari orang tua untuk mengaji,nggak jarang mereka diantar oleh ibunya, di sini tidak demikian. Murid-murid tidak terikat apapun, hanya keinginan mereka yang mendorong mereka untuk tetap mengaji. Dan, latar belakang keluarga mereka juga jauh lebih tragis dibandingkan dengan anak-anak di TPA lain. Sebelumnya, saya juga pernah mengajar di Isitqomah, saat masih tinggal di asrama, tapi karena kos saya jauh, akhirnya saya pindah ke TPA AL-Falah yang lebih dekat dengan rumah.
Kesan pertama yang didapat bagi siapa saja yang baru pertama kali mengajar di TPA ini adalah: Brutal. Ya, anak-anak yang brutal. .Wajar saja, saya kira. Di sini mereka bebas berekspresi tanpa tekanan apapun dari orang tua mereka. Karena, jika ditilik lebih jauh, banyak sebagian dari mereka merupakan anak-anak korban broken home dan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Sebut saja Herlin, anak cewek usia 8 tahunan, menjadi anak yang agak nakal, pemberontak. Ternyata, usut punya usut, anak ini sering menjadi korban kemarahan ayahnya, intinya sering dipukuli, sedangkan ayah dan ibunya sering bertengkar.
Ada lagi, Depi, anak cewek sekitar 8 tahunan juga, segala yang diucapkannya bertentangan dengan yang dia lakukan. Misalnya, ketika saya mengajak untuk belajar tajwid, dia berkata, "nggak mau ah kak. males", dan efeknya adalah temen2-nya juga jadi nggak mau. Tapi, beberapa menit kemudian dia mengeluarkan buku, lalu berkata ,"ayo kak, buruan belajar tajwid-nya".Ugh! Saya selalu bingung menghadapi anak ini.
Kasus lain, Lisna, anak kelas 1 SMP yang sangat benci dengan ibunya karena telah ditinggal sejak ia masih kecil. Lisna pernah berkata, "Aku benci... sama mamah, aku aja nggak pernah disusui sama mamah. Aku nggak tau ah mamah dimana. Nggak peduli!"
Satu lagi, Indri, yang punya obsesi "ingin menjadi seperti kakak". Setiap kalai saya datang , dia selalu berlalri-lari menghampiri dan berkata, "kak, kalo udah besar aku mau jadi kayak kakak". Dalam hati, saya cuma bisa berdoa, "semoga kamu bisa menjadi sisi baik saya, tidak untuk sisi buruk saya".
Ada yang kadang tiba-tiba menangis tanpa sebab, ada yang kadang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak demi menyaksikan temannya yang tidak bisa menulis Bismillah dalam tulisan arab. Ada yang setiap kali mau mengaji harus rebutan Iqro'. Ada yang diem banget, nggak mau mengeluarkan suara, bahkan saat mengaji. Jadi, kalo mengajar ni anak, namanya Siska, telinga kita harus bener-bener dekat dengan bibirnya. Ada yang datang cuma mau minta izin pulang sebentar, tapi nggak pernah kembali sampai esok hari.
Itu sebagian kecil latar belakang keluarga di murid-murid cewek. Beda lagi dengan murid-murid cowok yang kebanyakan anak2-nya autis. Sebagi contoh, ada seorang anak, saya lupa namanya, kira-kira 7 tahun, setiap kali waktu sholat isya tiba, pengajar ikhwan-nya harus berlari-lari mengejar tu anak. Kalo lagi sholat, posisinya nggak ada yang bener, bergerak kesana-kemari.
Ada juga seorang anak usia 7 tahunan, ibunya menjadi TKW di Arab, dia hanya mendapat kiriman dari ibunya, padahal yang diinginkannya adalah keberadaan seorang ibu di sampingnya. Dan dia selalu bilang, "aku lagi nunggu mama pulang."
Kalo bisa dibilang, mengajar di Al-Falah merupakan suatu cobaan. Tapi, banyak sekali miniatur kehidupan yang bisa diambil hikmahnya dari mengajar di tempat seperti ini. Nggak jarang, kadang kalo saya lagi bad mood, dengan mengajar mereka, hati ini sumringah, kepala ini menjadi dingin kembali, melihat tawa mereka, candaan mereka, dan semangat mereka.
Saya dan teman serumah bergantian mengajar di TPA ini, jika yang satu berhalangan, yang lain harus menggantikan.Tak jarang, sebelum berangkat kami rebutan dulu, siapa mengajar yang mana. Tapi, murid yang paling dihindari adalah murid2 cewek kelas 1 SMP. Paling enak tu ngajar anak SD kelas 1-3 dan anak yang belum sekolah. Tapi, resikonya, ya yang saya sebutkan di atas, tiba-tiba mereka bisa saja menangis atau tertawa.
Kalo ada kesempatan, coba deh sesekali berkunjung ke TPA ini, maka lihatlah fenomena-fenomena ajaib yang terjadi di antara anak-anak polos ini.
jan 31, '08 10:48 pm
Comments